Tuesday 13 October 2009

apa yang kita kira belum tentu nyata

Tulisan ini saya ambil dari milis tionghua-net. ditulis oleh JT.

selamat membaca.

Cukup menarik diskusi tentang diskriminasi yang telah berkembang dan melebar sampai ke hal-hal yang tidak ada relevansinya alias tidak nyambung. Saya kira silang pendapat tentang masalah diskriminasi ini tidak akan selesai sampai kapanpun juga, karena pihak yang satu menghubungkannya dengan masalah perasaan, seperti misalnya orang yang tersinggung atau sakit hati. Perasaan mudah tersinggung atau sakit hati tidak mungkin bisa dirubah oleh orang lain, hanya pribadi yang bersangkutan sendiri yang bisa merubahnya dan itupun memerlukan waktu yang cukup lama.

Yang bisa kita lakukan hanya memberikan pandangan pada orang tsb, bahwa perasaan mudah tersinggung dan sakit hati, juga perasaan didikriminasi, timbul karena kita mendapat perlakuan dari orang lain yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan, karena kita menempatkan diri kita terlalu tinggi. Kalau kita mengharapkan pujian sebagai orang pandai level 8, tentu akan tersinggung kalau ada orang yang memuji kita hanya sebagai orang pandai level 6. Kalau kita mengharap pujian sebagai orang kaya kelas T, tentu akan tersinggung kalau orang2 hanya menganggap kita punya kekayaan kelas M. Tapi sebaliknya kita akan senang mendapat pujian apapun juga, kalau sebelumnya kita tidak pernah mengharapkan pujian sebagai orang pandai level 8 atau sebagai orang kaya kelas T. Oleh karena itu jadilah orang yang low profile, maka kita akan hidup gembira karena sering terhibur dengan banyaknya orang yang terkecoh dengan penampilan kita.

Begitu juga kalau kita merasa bahwa kita sebagai orang Tionghoa harus mendapat perlakuan istimewa kelas executive ketika terjadi bencana, tentu akan merasa didiskriminasi kalau ternyata hanya mendapat perlakuan kelas ekonomi. Lebih parah lagi kalau kelakuan tak terpuji yang dilakukan oleh 1-2 orang pri, dianggap mewakili seluruh pribumi, TNI, dan pemerintah Indonesia. Mereka langsung meng-claim bahwa orang Tionghoa di Padang di diskriminasi dalam mendapatkan bantuan. Benar apa yang dikatakan Iwan Sams, perasaan didiskriminasi atau tidak, sebenarnya timbul dari pikiran kita sendiri. Sebaliknya orang Tionghoa yang tertimpa bencana atau siapapun juga, seyogyanya merasa beruntung dengan bantuan yang diterimanya, karena masih banyak orang lain yang lebih menderita dari dia yang belum mendapat bantuan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa menuntut semua orang Indonesia harus "SUKA" kepada orang Tionghoa dan melarang mereka membenci orang Tionghoa. Sama seperti kita juga tidak bisa melarang orang Tionghoa tidak suka kepada "ti-ko" atau "fan-kui". Kalau ada seorang pri yang membenci Cina, profesor sekalipun, kita tidak bisa melarangnya karena sampai sejauh ini belum ada UU yang bisa mengatur pikiran seseorang. Tapi apakah tindakan profesor tsb mewakili semua pri di Indonesia atau PTN atau mewakili semua institusi pemerintah? Tentu tidak bukan, karena kalau benar, mustahil saya dan sejumlah orang Tionghoa bisa sekolah atau menjadi dosen di berbagai PTN.

Secara umum, kelompok masyarakat, baik pri maupun Tionghoa, terbagi dalam beberapa katagori, mulai dari yang: Baik Sekali, Baik, Cukup, Kurang Baik, dan Extrim. Kelompok extrim ini juga terbagi lagi, mulai dari yang hanya sekedar extrim dalam wacana (sekedar berbual-bual), extrim dalam pemikiran, sampai extrim dalam kata dan perbuatan bak layaknya teroris. Kata2 iseng yang keluar dari 1-2 orang pri yang extrim dalam wacana, ketika sampai di telinga kelompok Tionghoa extrim, wacananya akan berkembang menjadi "kenyataan" sebagai tindakan diskriminasi yang tidak berprikemanusiaan, yang melanggar hak azasi manusia, yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya, dan tindakan2 lain yang mengerikan yang harus dilaporkan ke Komisi HAM PBB dan stop segala macam bantuan kemanusiaan ke Indonesia, yang jauh lebih dahsyat dari gempa bumi itu sendiri.

Salam
JT

No comments:

Post a Comment